Inprasa.com, Pekanbaru – Ibu Sofi, guru pelajaran agama Islam memulai kegiatan membaca dan menulis Al quran.
“Assalaamualaikum, anak-anak semuaaa, ” ucap Ibu Sofi kepada seluruh siswa.
“Waalaikumsalam, Bu..” jawab semua siswa.
“Sudahkah anak-anak semua mengaji bersama orang tua kalian?,” tanya Ibu Sofi, memastikan seluruh siswa telah mengerjakan tugas dari sekolah.
“Sudah, Bu..,” jawab para siswa.
“Sekarang, kartu bukti menghafal, membaca dan kartu hafal menulis yang sudah ditanda tangani orang tua dikumpulkan ke ibu,” pinta Ibu Sofi.
Seluruh siswa mengumpulkan kartu bukti hafal membaca dan kartu hafal menulis ke meja ibu Sofi. Hanya Nisa yang belum bisa mengumpulkan kartu itu.
Nisa belum mengumpulkan kartu bukti hafalannya, karena orang tuanya belum bersedia menandatangani kartu-kartu itu, lantaran Nisa adalah anak pungut.
Nisa diasuh suami istri yang cukup berada, kebetulan tidak mempunyai anak. Namanya, Pak Fredi dan Ibu Hana.
Pak Fredi dan bu Hana cukup sayang kepada Nisa, anak angakatnya. Namun, soal tanda tangan kartu hafalan saja mereka kurang berbaik hati.
Nisa sudah menghafal tujuh surat dalam Alquran, namun tidak satupun yang ditanda tangani Bapak Fredi atau Ibu Hana.
Bapak Fredi dan Ibu Hana belum mau menandatangani kartu itu, bukan tidak bisa menjadi guru mengaji di rumah, keduanya meragukan pikirannya sendiri, apakah Nisa kelak mau menjadi pelindung dirinya tatkala ia sudah tua nanti.
Pikiran kedua orang tua angkat Nisa itu kadang baik, kadang berprasangka kurang baik, disebabkan keraguan dan kekhawatiran mereka sendiri. Mereka berpikir, apakah pengorbanan yang telah diberikan terhadap Nisa akan berbuah manis atau tidak di kemudian hari.
Pagi ini, kebetulan Nisa mendapat giliran menghafal, membaca dan menghafal menulis surat Al-Maa’uun.
“Nisa, silakan ke depan! baca surat Al-Maa’uun beserta terjemahannya!,” pinta Ibu Sofi. “Iya, Bu..,” jawab Nisa.
Nisa membaca surat Al-Maa’uun sangat merdu dilanjutkan terjemahannya.
“Bagus sekali bacaannya, nak. Ibu guru minta, Bapak atau Ibumu harus mau mengaji bersama Nisa. Kedua kartu hafal membaca dan menulis harus ditandatangani orang tua, sebagai bukti Nisa telah mengaji bersama dengan orang tuamu ya nak. Sekarang, Nisa sudah hafal membaca dan menulis Al-Quran delapan surat dalam Al-Quran,” ujar bu Sofi.
“Baik, Bu…,” jawab Nisa singkat.
Suasana kelas menjadi gaduh, lantaran ada anak yang usil membiacarakan Nisa. Mereka teman-teman perempuan satu kelas Nisa yang kebetulan tidak menyukai Nisa.
Nisa dianggap mengalahkan kecantikan dan kepintaran mereka, sehingga mereka berusaha membuat opini, kalau Nisa adalah anak pungut yang tidak mempunyai Bapak/ibu.
Dengan modal fakta tujuh kartu hafalan membaca dan menulis belum ditanda tangani orang tua Nisa, teman Nisa menyebar isu, kalau Nisa merupakan anak pungut, tidak punya Ayah dan Ibu.
“Dasar anak pungut, anak tidak jelas, masa sudah tujuh kali hafalan membaca dan menulis belum satupun yang ditanda tangani Bapak atau Ibunya, coba gunakan logika, berarti tidak punya Bapak atau Ibukan?,” Seru Novi kepada teman-temannya.
Novi terus menebar opini, bahwa Nisa adalah anak tidak jelas, karena merasa tersaingi kepandaian dan kecantikan Nisa.
Dari kejauhan, samar-samar Nisa mendengar pergunjingan teman-temannya, namun Nisa diam saja, dan hanya teringat ibunya yang sudah tiga tahun meninggal dunia.
Dalam hati Nisa bergejolak, antara marah, jengkel, sedih dengan harus bersabar menjalani hidup.
Nisa bertekad, harus berani memohon kepada Bapak dan Ibu angkatnya mengaji bersama. Niatan itu muncul lantaran tidak tahan lagi mendengar hinaan yang dilakukan Novi terhadap diriya di depan teman-teman sekolahnya.
Selepas sholat Maghrib berjamaah di rumah Bapak Fredi, Nisa berbisik kepada Ibu Fredi, “Bu, Nisa minta maaf, malam ini Nisa minta ke Ibu dan Bapak, mau mendengarkan Nisa mengaji di depan Bapak dan Ibu.”
“Ini tugas dari sekolah Nisa, Bu. Mohon Ibu dan Bapak bersedia, selepas sholat Maghrib ini, ya Bu.., Nisa, mohon Bu… Jika Ibu dan Bapak tidak bersedia Nisa, besok tidak akan masuk sekolah lagi. Maaf, Bu..” ujar Nisa memohon kepada kedua orangtua angkatnya.
“Pak.. Pak, gimana Pak?,” ujar Bu Fredi, “Memangnya Nisa mau mengaji berapa lama? Bapak ada acara dengan teman Bapak sebentar lagi, ” jawab Pak Fredi.
“Paling lima menit, Pak… Nisa mohon, ya Pak?,” pinta Nisa memelas.
Pak Fredi menggulung sajadah, lantas berjalan menuju ruang tamu, dan menyalakan lampu di ruang tamu. “Bu, duduk sini!,” ujarnya, sambil menunju ke tempat duduk.
“Tadi siang, Bapak memang mendapat telepon dari Ibu Sofi, guru Agama Islam Nisa. Bu Sofi minta, agar malam ini Nisa diperbolehkan mengaji di depan kita.”
“Setelah selesai mengaji nanti, Nisa akan minta tanda tangan. Kata Bu Sofi, ini tugas sekolah dan tugas orang tua dalam rangka pembentukan karakter anak. Jadi, kita harus dengarkan Nisa mengaji malam ini. Ayo kita dengarkan bersama seperti apa suara Nisa, yaa Bu?”, “Iya, Pak.. ” jawab Bu Fredi lirih.
Nisa mencium tangan kedua orangtua angkatnya, lantas Nisa menuju ke kamarnya untuk mengambil dan membawa Juz’Amma “Allama Bil Qolam” satu set, Nisa membawa semua perlengkapan belajar yang terdiri dari:
Nisa duduk di ruang tamu berhadap-hadapan dengan Bapak dan Ibu Fredi.
“Nisa, itu kartu-kartu apa Nisa? Lihat!,” tanya Pak Fredi.
“Ini kartu (warna kuning) bukti hafal membaca sedang kartu ini (warna putih) bukti hafal menulis, Pak,” jawab Nisa, sambil menyerahkan kartu yang di minta Pak Fredi.
“Lhaa, buku tulis ini dan buku Juz’Amma Allama Bil Qolam yang itu apa?,” tanya Bu Fredi, sambil menunjuk buku tulis BTQ dan buku penguasaan menulis Juz’Amma Allam Bil Qolam.
“Yang ini Juz’Amma Allama Bil Qolam tulisan tangan Nisa, sedang buku tulis BTQ itu untuk latihan menulis sampai benar, kalau sudah benar Nisa baru bisa menulis di Al-Quran tulis Juz’Amma Allama Bil Qolam yang ini, Bu..,” jawab Nisa, sambil menunjuk buku yang dimaksud.
Kedua orang tuanya membaca buku yang sudah ada di depannya. Sesaat kemudian, Pak Fredi bertanya, “Nisa, sudah berapa surat yang sudah dihafal membaca dan hafal menulis?”.
“Kalau di sekolah sudah delapan surat, Pak.. Hafalan itu baru dianggap hafal benar jika sudah disaksikan orang tua, dibuktikan dengan kartu dan buku ini, Pak..,” jawab Nisa, sambil menunjuk kartu dan buku Juz’Amma Allama Bil Qolam yang sudah ada tulisan delapan surat yang ditulis Nisa.
“Ya sudah, Nisa sekarang mau membaca hafalan surat apa? Ibu dan Bapak akan menyimaknya,” ujar Bu Fredi.
“Nisa mau menghafal membaca dan menulis surta Al-Maa’uun, Bu..,” jawab Nisa.
“Silahkan Nisa baca, Bapak dengarkan..,” ujar Pak Fredi mempersilakan Nisa memulai hafalannya.
Lantas, Nisa membaca surat Al-Maa’uun, diteruskan terjemahan yang sudah dihafalnya.
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.
4. Maka celakalah orang yang salat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya,
6. yang berbuat ria,
7. dan enggan (memberikan) bantuan.
Saat Nisa membaca surat Al-Maa’uun, diteruskan dengan terjemahan, kedua orangtua angkatnya tertegun dan menangis tersedu-sedu, merasa bersalah, karena mereka selalu menghindar jika Nisa minta mengaji bersama.
Kedua orangtua angkat Nisa merasa berdosa atas perlakuannya kepada Nisa, yang kurang tulus mengasuh Nisa.
Keduanya terdiam, berlinang air mata, sesekali mengusap air mata karena terharu. Sesaat kemudian, Nisa menunjukkan hasil belajarnya, menunjukkan delapan surat yang sudah hafal dan Nisa tulis.
“Ibu, Bapak, terima kasih, Bapak dan Ibu sudah bersedia mendengarkan Nisa mengaji. Bapak, Ibu jika hafalan Nisa sudah betul, mohon Bapak atau Ibu sudi menandatangani kartu hafal membaca ini, Bu..,”
“Malam ini, Nisa hafalan membaca dan menulis satu surat dulu ya, Bu.., karena Bapak ada acara, besok malam diteruskan hafal surat lain,” ujar Nisa memohon.
“Iya Nisa, besok malam, Bapak sempatkan ngaji bersama lagi. Semua surat yang sudah Nisa hafal dan tulis, Bapak tanda tangani kartu-kartunya, untuk malam ini, Bapak tanda tangani hafalan surat Al-Maa’uun dulu, ya nak?.” jawab Pak Fredi, sambil mnegusap air matanya.
“Terima kasih, Pak.. Bu…” ujar Nisa, sambil menangis kecil Nisa menyerahkan kartu hafal membaca untuk ditanda tangani orang tuanya.
Mulai malam itu dan seterusnya Bapak, Ibu Fredi dan Nisa mengaji bersama, keraguan dan prasangka tidak baik sebelumnya, telah terhapus dengan sentuhan ayat suci Al quran, surat Al-Ma’un yang dibacakan Nisa, anak angkat Keluarga Bapak Fredi.
Baik, sobat Inprasa, tonton juga Film Pendek “Kartu Hafalan Nisa”, yang diangkat dari cerpen. Jangan lupa, subscribe untuk mendapatkan kabar literasi terkini, dan juga film pendek dengan cerita yang lebih seru lainnya.