Cerpen: Senyum Sejenak

Inprasa.com, Pekanbaru – Suatu hari Pak Mukiding merasa senang. Anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Sewaktu anaknya yang paling tua masih berumur kurang dari 15 tahun, dirinya repot mengurus anaknya, yakni Subaweh Mursini dan Tukijan.

Saat ini sudah lega, lantaran ketiga putranya sudah berumur lebih dari 17 tahun alias dewasa. Subaweh sudah S1 Ekonomi, sedang Mursini sudah lulus sarjana Hukum. Tukijan sebentar lagi akan diwisuda menjadi sarjana pendidikan.

Setelah dua dari tiga anaknya lulus S1 ternyata Pak Mukiding tidak merasakan sesuatu seperti yang diharapkan saat anak-anak masih kecil. Harapan Mukiding waktu itu, jika kelak anaknya lulus kuliah berharap anak-anaknya langsung dapat bekerja, setidaknya jika dia bekerja gajinya bisa menghidupi dirinya sendiri.

Eee ternyata, dua putranya yang sudah lulus kuliah masih ngembek juga dengan ibunya. prediksi ini ternyata meleset. Waktu Mukiding masih kuliah dulu, belum lulus saja sudah berani cari kerjaan, meskipun hanya jadi tukang tali-tali buku di percetakan waktu itu.

Jika tidak kuliah Mukiding bisa mencari uang buat makan sendiri, sebab ibunya sebulan hanya memberi bekal hanya cukup untuk tiga hari. Selebihnya Mukiding cari sendiri. Bahkan Mukiding pernah saat berangkat kuliah untuk indekos selama satu bulan hanya diberi sangu beras doang.

Kata ibunya berasnya bisa bertahan satu bulan asal satu hari makan sekali saja.
“Ampuuun… ampun” kata Mukiding.

Berbeda dengan ketiga anaknya sekarang, semuanya masih di handle ibunya, meskipun sudah jadi S1 dan dianggap sudah dewasa, tingkat ketahanan menderita jauh berbeda dibanding Mukiding dulu.

Mukiding sempat menganalisa kenapa anaknya tidak setangguh dirinya yaa? Apakah karena tidak diajarkan untuk berpisah dengan ibunya selama kuliah yaa? Atau karena ibunya selalu menuruti kemauan anaknya, atau apa yaa?

Sepertinya kebenaran analisa Mukiding cenderung mendekati analisa yang mengatakan bahwa “anak yang selalu dituruti kemauannya oleh orang tua cenderung tidak memiliki daya saing yang kuat”.

Kebenaran analisa ini dapat dibuktikan saat Subaweh sebagai anak tertua dan sudah menjadi sarjana Ekonomi tidak bisa bertahan dan tidak snaggup saat Pak Mukiding memberi tugas kepadanya.

Meskipun tugas itu bobotnya tidak ada sepertiga beratnya dibanding dari beban waktu Mukiding masih kerja sambil kuliah dulu.

Mukiding hanya memberi tugas kepada anak tertuanya agar bangun jam lima pagi, sholat subuh, bantu bersih-bersih rumah dan berangkat kerja. Jam 8 pagi harus sampai kantor, itu saja.

Tugas seperti itu bagi Mukiding keciiil, bahkan bagi Mukiding itu bukan tugas, melainkan sudah menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan setiap hari. Dan kegiatan itu sudah menjadi pembiasaan setiap hari waktu Mukiding masih kuliah.

“Ampuuun… ampun” kata Mukiding.

Suatu hari Subaweh ngeluyur sampai larut malam. Sekali, dua kali didiemi ibunya, namun setelah ke tiga kali di tegur ibunya. Ibunya menasehati supaya kalau main paling lama sampai jam 10 malam harus pulang. Maksud ibunya supaya besok tidak ngantuk saat kerja di kantor.

Selain itu ibunya kuatir, jika pulang larut malam takut ada apa-apa dengan Baweh. Maklum jaman sekarang banyak godaan.

Baweh emmang paling dekil, diantara adik-adiknya. Adiknya nurut. Baweh sangat keras hatinya, dinasehati ibunya selalu membantah.

Waktu malam minggu, ibunya sudah tidak sabar, ibunya mempunyai rencana jika Baweh pulang, pas membuka pintu akan di guyur dengan air yang sudah disiapkan. Maksudnya biar kapok, tidak ngeluyur sampai larut malam.

Baweh sudah tau, dimana letak kunci rumah ibunya selalu metaruh di jendela, yang kacanya di pecahkan oleh Baweh. Jadi kunci selalu ditaruh ibunya disitu agar sewaktu-waktu Baweh pulang tidak mengganggu dirinya.

Sekali, dua kali tiga kali tidak apa. Ini sudah kesekian kali. Makanya ibunya sudah tidak tahan lagi melihat perangai Subaweh.

“Greeeeek…” tanda pintu pagar bergeser akibat dorongan tangan Subaweh yang sedang membuka pintu pagar rumah.

“Haah datang dia” kata ibu Poniem istrinya Mukiding.

“Klatek…klatek…klatek” suara Subaweh mengambil kunci rumah yang biasa di simpan di sekitar jendela yang pecah kacanya.

“Kreeet…yoook” kata Subaweh
“Mampus ora koweee…. Byuuurrrr… kreecek…kreceekk”
Suara teriakan ibu Poniem sambil menuangkan air dalam ember ke kepala orang yang masuk rumahnya.

“Hoee sopo ikii!?” kata ibu Poniem.

“Saya buuk Ipan temannya Baweh”.

Ipanpun basah kuyup, karena terkena siraman air yang disiramkan di kepala dan seluruh badannya oleh ibu Poniem.

“Asem koe weeh” kata ibu Poniem

Baweh pun diam saja, ia tidak berani mendekati ibunya, lebih baik menunggu emosi ibunya reda. Ipan paling celaka, karena tidak tahu apa-apa malam ini harus mandi basah, Ipan tidak tahu apa penyebabnya disiram air oleh ibunya Baweh. Ipanpun kedinginan, karena basah kuyup. Baju dan celananya basah akibat disiram air satu ember penuh.

Dalam hatinya Ipan bilang “nasib, nasiib. Aku lagi apes. Baweh memang kurang ajar, dia yang kena marah ibunya aku yang kena siram.”

Sesaat kemudian ibu Poniem menggerutu, giginya kerot-kerot dan matanya melotot. Ibu Poniem sepertinya mau memukul Subaweh anaknya, tetapi karena ada Ipan, ibu Poniem masih bisa ngerem emosinya.

Sambil memegang gagang sapu dan bibir komat-kamit ibu Poniem berkali-kali ngucap. “anak tak tau di untung, kecil dibesarkan, setelah besar kayak anak kecil, susah diatur, dasar tidak tahu di untung!”

Subaweh pun ketap-ketip matanya. Baweh tak berani berucap, sepatah katapun. Matanya memandang kebawah sambil jari tangannya garuk-garuk badan, lantaran ingin mengalihkan pandangan ibunya kea rah yang lain.

“Dasar begok!” kata Poniem sambil membanting sapu dan jalan menuju ruang lain di rumahnya.
Setelah ibu Poniem masuk ruangan lain di rumahnya, Subaweh baru bergerak menarik tangan Ipan.

“Ayook naik”. Ipan pun mengikuti ajakan Baweh naik ke lantai dua rumahnya yang merupakan markas tempat tidur Baweh.

“Itulah hebatnya ibuku” kata Baweh berbisik.
“Emangnya kenapa?”

“Itu… habis marah kayak gitu, paling besok pagi sudah ketawa-tawa dengan aku” kata Baweh.
“Emang kenapa ketawa?”

“Ya… lucu saja, seperti kejadian tadi haha”.
“Iyaa yaa asem, aku tidak tau apa-apa kena siram air, asem-asem”. Kata Ipan.

“Ha..haa itu masih mendingan, cuma disiram air”.
“Memangnya ada yang lebih tragis?” kata Ipan.
“Adaaaa!!!”

“Ha ha haaaa. Apaan itu?” bisik Ipan.
“Aku certain, tapi jangan ketawa keras-keras”.
“Tidak… tidak”.

“Sebulan lalu, aku pulang malam minggu, yaa seperti ini, pas aku mau mengambil kunci di lobang jendela, ternyata ibuku sudah siap-siap mau menangkap tanganku.” Haa haa kata Baweh.
“Terus… terus”.

“Aku tahu kalau mau ditangkap tanganku, dari observasiku.” Kata Baweh sok intelek.
“Apa maksudmu?”

“Sebelum aku mengambil kunci, aku intip dulu ibuku, sedang tidur atau tidak?” kata Baweh.

“Ngintip lewat mana? Kan semuanya tertutup?”
“Ada deeh, rahasia”.
“Terus?”

“Setelah aku tahu kalau tanganku mau ditangkap dan dipukul ibuku, aku cari akal.”
“Apa akalmu?”

“Aku pegang kucing yang biasa aku ajak main.”
“Kamu apain kucingnya?”

“Aku pegangin kucing itu dan aku masukkan ke jendela tempat dimana kunci ditaruh ibuku, seketika itu kucing ditangkap dan diremas-remas sekuat-kuatnya oleh ibuku, menjerit-jeritlah kucing itu… hahaha…. Ibuku pun kaget berteriak-teriak, kaget tidak karuan, ternyata kucing yang diremas bukan tanganku”. Hahaha ujar Subaweh.

“Memang kamu gila haha…” kata Ipan.
“Terus, ibumu gimana?”

“Ibuku buka pintu, aku dikejar.”
“Sampai mana ngejarnya?”

“Itu sampai jalan sanaa”
“Terus, ada orang tau?”
“Entah” hahahaha

“Lucukan ibuku? Kata Baweh.
“Ya ya yaaa, lucu ibumu”.

Setelah menceritakan peristiwa lucu itu keduanya mulai ngantuk, dan akhirnya keduanya tidur lelap.

Related Post

Leave a Comment