Saat Mukidi lewat di depan stasiun Pasar Senin Jakarta ada sekumpulan anak muda sedang berseloroh.

“Lama-lama Negara kita ini akan dipimpin orang-orang seperti Mukidi,” kata si Parmin salah satu anak muda yang ada di perkumpulan itu.

“Apa maksudmu meen?,” kata si Jon koplo, minta penjelasan ke Parmin maksud kata bahwa lama-lama Negara ini akan dipimpin orang-orang seperti Mukidi.

“Haha coba kamu pikir Jon! Mana ada listrik mati lebih 24 jam kemaren malah pejabat Negara rame-rame mencari kambing hitam dengan menyalahkan pohon sengooon sebagai tersakanya. Apa masuk akal atau masuk perutmu? Mana ada pohon yang duduk manis tidak tahu apa-apa dijadikan tersangka, seandainya kamu saat itu duduk di bawah pohon sengon pasti kamu akan dijadikan tersangka utama haha, betul tidak?,” kata si Parmin berseloroh sambil tertawa dan terbatuk-batuk lantaran ketawanya kelamaan.

“Hei! Diam!,” kata Budi setengah agak serius tetapi juga setengah tertawa.

“Kalau Mukidi memimpin Negara, mungkin masih lumayan enak, sebab kita bisa tertawa tetapi kita tidak dirugikan, sebab Mukidi setiap hari bisa membuat orang tertawa tetapi kita/rakyat tidak dirugikan. Lha pemimpin sekarang ini lain. Kita mendengar statemannya lucu, kita bisa tertawa tetapi ikan coy yang di aquarium di rumah mati semua,” ucap Budi dengan nada agak kesal.

“Hai sahabat dan calon penumpang kereta api KRL, kenapa kalian menyebut namaku Mukidi? Memangnya ada apa?,” kata Mukidi pura-pura dalam perahu, padahal sebenarnua dia lebih tahu bahwa kebanyakan pemimpin Negara kita saat ini seperti dirinya, bahkn lebih buruk perangainya dibanding dirinya.

Mukidi juga membayangkan jika Negara sebesar Indonesia yang rakyatnya lebih kurang 265 juta, pulaunya lebih 3000 pulau, luas wilayahnya lebih luas sepuluh kali lipat luas Negara Singapura, jika dipimpin orang sekelas Mukidi atau dirinya, jelas akan banyak masalah yang akan timbul.

Bahkan Mukidi berfikir, peristiwa matinya listrik di Jawa yang menyebabkan pohon sengon menjadi tersangka utama, bisa jadi, di hari besok, minggu besok, dan bulan kedepan akan ada tersangka baru dari jenis makhluk hidup lain.

Kalau dulu yang jadi tersangka utama tiang listrik, akibat menyebabkan benjolan di kepala sebesar bakpao di kepala mantan ketua DPR, kali ini pohon sengon yang jadi tersangka, besok bisa jadi ada tersangka baru yang lebih lucu lagi.

Seperti kasus penyiraman air keras yang mengenai mata penyidik KPK yang sudah lama tidak ketemu tersangkanya bisa jadi besok tersangkanya Musholla… hahaha. Pasti lebih heboh kalau musholla dijadikan tersangka utama penyiraman air keras hahaha….

“Pak….pak memang nama Bapak Mukidi?,” tanya Basir salah satu yang ikut dalam sekumpulan anak muda yang ada di ruang tunggu stasiun Pasar Senin.

“Betul…. Namaku Mukidi, perlu bukti kalau namaku Mukidi? Oke, ini KTP saya, ini SIM A saya, lha ini surat nikah saya, semuanya menerangkan bahwa saya bernama Mukidi,” penjelasan singkat padat yang tidak mungkin bisa di bantah oleh Parmin, Si Jon, Budi dan Basir.

“Ada yang perlu penjelasan?,” kata Mukidi setengah menantang untuk berargumentasi.

“Waaah waaahhh waaahhh, komplit sekali penjelasannya, singkat padat dan mudah dimengerti,” kata Basir salah satu anggota rombongan yang ada di stasiun kereta api Pasar Senin itu.

“Lho iyaaa, kita itu orang teknis, orang profesional, kalau menjelaskan sesuatu harus jelas, padat tidak bertele-tele, mana ada peristiwa listrik mati pohon sengon jaid tersangka, kalau dirut PLN begitu argumennya aku si Mukidi bisa-bisa ikut menjadi terdakwa, yaa kan? Ini contohnya Mukidi yang tidak tahu apa-apa kalian sebut-sebut,” kata Mukidi yang ikut meramaikan perbincangan dengan empat anak muda yang nampaknya smart otaknya.

“Anak muda… kalian ini dari mana, mau kemana dalam acara apa kok Nampak smart kali?”

“Aku berempat dari pulau Sumatera pak, mau ke Jawa dalam rangka menghadiri penganugerahan gelar kebangsawanan dari keraton Surakarta,” kata Basir yang Nampak intelek soal bertutur kata.

“Buat apa temanmu cari gelar kebangsawanan dari keraton Surakarta? Memang ada pengaruhnya buat si penerima gelar kebangsawanan temanmu itu?”

“Ooh jelas ada, temanku kan namanya misalnya Bagus Jumaron, nanti namanya ada tambahannya Raden Haryo Bagus Jumaran gituuu…..,” kata Basir.

“Ooh gitu, terus apa pengaruhnya buat Raden Haryo Bagus Jumaron dalam kehidupan sehari-hari saat si Raden Haryo Bagus Jumaron pulang ke kampung di Sumatera sonoooo?,” kata Mukidi dengan bibir molor ke depan.

“Hahaha….hahaha….. (ke empatnya tertawa si Parmin, si Jon, Budi dan Bakir). Rupanya Pak Mukidi lagi pura-pura dalam perahu ni kawan,” Kata Parmin ketua rombongan empat anak muda intelek dari Sumatera ini.

“Gini Pak Mukidi, kita berempat ini merupakan tim sukses temanku yang akan menerima gelar kebangsawanan dari keraton Surakarta. Temanku itu akan mencalonkan diri menjadi Bupati di Kabupaten di Sumatera sonoooo.

Lhaa… temanku yang sebelumnya hanya bernama Bagus Jumaron terus sekarang mendapat gelar kebangsawanan dari keraton Surakarta menjadi Raden Haryo Bagus Jumaron, besok di Kabupaten dimana Raden Haryo Bagus Jumaron mencalonkan Bupati, masyarakat Jawa yang kebetulan menjadi peserta pilkada dan memiliki hak pilih, mereka akan memilih Raden Haryo Bagus Jumaron, sebab orang Jawa di Kabupaten tersebut menganggap Bagus Jumaron adalah tokoh berdarah biru alias masih keturunan keraton atau setidak-tidaknya keturunan ningrat atau Rajaa,” kata Parmin sambil menunjuk kepala salah satu temannya si Jon tepat di keningnya.

“Oooh gitu toooo, jelaslah kalau begitu, baguss… bagus, terus temanmu si Raden Haryo Bagus Jumaron dapat gelar kebangsawanan itu dengan cara apa? Mengabdi di keraton, kuliah di keraton atau gimana, kok temanmu orang Sumatera dapat gelar dari kerajaan Surakarta?,” tanya Mukidi dengan wajah agak begok.

“Kalau itu saya tidak tahu, tapi yang pasti jer basuki mowo beoo artinya sesuatu cita-cita yaa ada biayanya, berapa haganya tanya pohon sengon sanaa,” kata si Jon dengan nada menyinggung perasaan pejabat PLN.

“Boleh saya bertanya lagi kepada kalian berempat soal gelar kebangsawanan di kampungmu sonooo?,” kata Mukidi dengan moncong bibirnya kayak togog dalam dunia pewayangan.

“Boleeh…boleh, kita ini anak muda, open information, apa pun boleh ditanyakan selain rahasia negara,” kata si Budi yang sok-sok jago bahasa Inggris.

“Misalnya nih…misal loh yaaa…. Temanmu Raden Haryo Bagus Jumaron berhasil terpilih jadi Bupati di daerahmu sonoo, ada tidak lembaga yang dapat memberi gelar kebangsawanan seperti di Jawa? Misalkan ada, apa pengaruhnya gelar yang diberikan ke Bupati tadi terhadap kekuasaannya? Kalau gelar Raden Haryo tadi kan untuk menarik suara suku Jawa untuk memilih temanmu tadi, lha sekarang misalnya sudah terpilih dan di lantik menjadi Bupati, apa pengaruhnya jika si Bupati dikasih gelar kebangsawanan lagi di kampungmu sonoo,” tanya Mukidi seperti pertanyaan presenter di TV One.

“Pertanyaan Pak Mukidi seperti itu harus aku yang jawab,” kata Jon koplo, dengan nada sok paling jago.

“Gini Pak Mukidi,……(berhenti beberapa saat)….. begini…… (lama tidak ada kata-kata). Beginih! Ada tradisi berbeda antara pemberian gelar kerajaan di Jawa dengan di daerahku.

Kalau di Jawa gelar diberikan dengan syarat Jer basuki mowo beoo itu sekali putus, grek sekian juta langsung dapat gelar, tetapi kalau di daerahku Sumatera tidak begitu, di daerahku gelar diberikan jika mereka sudah berjasa dan berhasil menjadi pemimpin, baru dia diberi gelar kehormatan.

Dari pemberian gelar itu, si pembeli gelar bebas meminta sesuatu, sebab kalau tidak dituruti kamauan si pemberi gelar, gelar yang diberikan tidak memberi berkah terhadap dirinya atau penerima gelar. Si penerima gelar harus hormat dan tunduk kepada pemberi gelar dalam hal menyusun kebijakan. Lebih hebatnya lagi setelah si penerima gelar disematkan pakaian kebesaran, maka si penerima gelar, akan tersandra oleh gelar kebesaran tadi.

Jadi gelar kebangsawanan yang diberikan di Jawa tidak ada apa-apanya tingkat kesaktiannya dibanding kesaktian gelar yang diberikan di kampung saya di Sumatera. Sebab sekali dikenakan pakaian kebesaran selama itulah upeti kebijakan harus mau nurut kepada pemberi gelar kehormatan,” ucap Jon koplo.

“Waduh gila bener kalau begitu, terus..terus kesaktian yang diberi gelar kira-kira kebal oleh senjata apa saja? Atau mereka yang sudah diberi pakaian kebesaran tidak bisa ditangkap KPK, bagaimana pengalaman yang sudah-sudah?,” tanya Mukidi serius.

“Lhaa ini ni, justru dengan diberi pakaian kebesaran itu memudahkan KPK mengetahui kejelekannya, itu pengalaman yang sudah sudah, tidak ada kesaktian apa-apa gelar kebangsawanan itu sebenarnya yang ada hanya gila hormat saja, itu semua sebenarnya rakyat tidak membutuhkan,” ucap Basir seraya berdiri lantaran sudah ada perintah dari pengeras suara agar pemegang tiket kereta api jurusan stasiun Pasar Senin – Solo mbalapan segera memasuki peron, karena kereta segera diberangkatkan.

“Hati-hati, semoga selamat sampai tujuan, dan temanmu kuat mengenakan pakaian kebesaran di daerahmu nanti jika terpilih jadi kepala daerah, dan kalian sebagai tim sukses, harus bisa mmeberi saran, agar temanmu kelak saat jadi pemimpin tidak menjadikan pepohonan dan tiang listrik jadi tersangka,” kata Mukidi.

“Siaaap..,” kata empat orang dengan penuh semnagat sambil jalan ke pintu masuk pemeriksaan karcis kereta api.

“Dadaaa Mukidiiii..,” kata mereka.

“Dadaaa, dadaaa, hati-hati,” kata Mukidi sambil menyeret tasnya keluar stasiun kereta api Pasar Senin.

Related Post

Leave a Comment