Inprasa.com – Suatu hari Khalifah Umar bin Khatab sedang duduk-duduk bersama sahabat, di halaman mesjid Madinah. Tiba-tiba datang tiga pemuda menghampiri Amirul Mukminin.

Salah satu pemuda itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin aku minta keadilan. Pemuda yang aku bawa ini dihukum mati, karena telah membunuh ayahku”.

Amirul Mukminin bertanya kepada pemuda lusuh yang didakwa membunuh ayah kedua pemuda tersebut, “ Wahai pemuda, benarkah saudara membunuh orangtua kedua pemuda ini?”. “ Benar ya Amirul Mukminin, aku telah membunuhnya” jawab pemuda itu.

“Coba saudara ceritakan bagaimana peristiwanya sampai saudara membunuh orangtua kedua pemuda ini?”.

“Begini ya Amirul Mukminin. Aku diutus oleh kaumku, untuk mengurus sesuatu di kota ini. Sesampainya di kota ini untaku ku tambatkan disebuah pohon kurma. Aku tinggalkan untaku untuk urusan di kota ini. Setelah urusanku selesai ternyata untaku terlepas dan masuk di pekarangan milik orangtua dua pemuda ini. Kudapati orangtua itu memotong untaku.

Aku marah dan orangtua itu aku bunuh dengan pedangku. Pemuda ini tidak terima. Keduanya menuntutku agar aku dikhisas sebagai pembalasan atas kematian orangtuanya. Wahai Amirul Mukminin Tegakkanlah hukum Allah, khisaslah aku!. Namun berilah aku waktu tiga hari untuk menyelesaikan urusanku dengan kaumku” Kata pemuda lusuh dengan mantab.

“ Mana bisa kamu minta seperti itu”, kata salah satu dari dua pemuda yang orangtuanya terbunuh. “ Wahai saudaraku!. Maafkanlah saudaramu ini, dia membunuh orangtuamu karena khilaf, maafkanlah!” kata Amirul Mukminin.

“ Tidak bisa wahai Amirul Mukminin, nyawa harus dibalas nyawa ” kata kedua pemuda itu.

“ Wahai Saudaraku, apakah saudara tidak ada famili dikota ini yang dapat menyelesaikan urusanmu dengan urusan kaummu?” kata Amirul Mukminin .

“ Tidak ada satupun saudaraku di kota ini wahai Amirul Mukminin. Bagaimana menurutmu wahai Amirul Mukminin jika aku mati namun masih membawa hutang dan amanah dari kaumku yang belum aku selesaikan?” tanya pemuda lusuh.

Amirul Mukminin merenung sejenak. “ Wahai saudaraku, saudara harus ada penjamin atas dirimu, jika tetap ingin pulang untuk menyelesaikan urusanmu dengan kaummu”, kata Amirul Mukminin.

Dalam situasi lagi tegang, seperti itu datanglah Salman Alfarizi. “ Wahai Amirul Mukminin, berilah aku izin sebagai penjamin pemuda ini.”

“Wahai Salman! Kalian jangan main-main dengan urusan seperti ini! Kenalkah Salman dengan pemuda ini? ” kata Amirul Mukminin.

“Aku mengenal pemuda ini sepertimu mengenal dia,” kata Salman.

“Kalau begitu pergilah saudara!. Saudara kuberi waktu 3 hari lamanya. Saudara harus kembali untuk menjalani hukum khisas, jika tiga hari saudara tidak datang, maka Salman Al Farizi akan menjadi penggantinya untuk dikhisas.”

Pergilah pemuda lusuh itu kembali ke pedalaman tempat pemuda itu berasal. Satu hari, dua hari pemuda itu tidak ada tanda-tanda pemuda itu akan kembali ke Madinah.

Hari ketiga, matahari hampir tenggelam, malam hari sudah mulai menyambutnya, sedang batas akhir yang diberikan Amirul Mukminin kepada pemuda yang membunuh orangtua itu sudah hampir habis. Karena waktu sudah hampir habis, Salman Al Farizi di arak untuk digantung sebagai pengganti atas terbunuhnya orangtua kedua pemuda itu.

Suasana sangat mencekam. Banyak yang menyayangkan kenapa Salman Al Farizi bersedia menjadi penjamin pemuda pembunuh itu. Saat pelaksanaan hukuman khisas akan dilaksanakan, dari kejauhan ada suara

“Tunggu-tunggu, wahai Amirul Mukminin, maaf aku terlambat,” kata pemuda lusuh memohon supaya menunggu dirinya.

“Wahai saudaraku, kenapa saudara terlambat datang, apa yang terjadi pada dirimu,” tanya Amirul Mukminin.

“ Wahai Amirul Mukminin, aku memacu kudaku tampa berhenti, hingga kudaku kecapekan, akhirnya roboh dan aku tinggalkan di gurun. Aku lari, semampuku demi memenuhi janjiku.”

Saat itu Salman Al Farizi dilepas dari tiang gantungan dan digantikan oleh pemuda lusuh. Sebelum hukuman dilaksanakan Amirul Mukminin bertanya kepada pemuda itu, “kenapa kamu tidak lari ke negeri yang jauh, justru saudara memilih melaksanakan hukuman khisas ini.”

“Wahai Anirul Mukminin, aku tidak mau dikatakan dikalangan kaum muslimin tidak ada lagi pahlawan tepati janji,” kata pemuda lusuh itu.

Saat hukuman khisas mau dilaksanakan kedua pemuda yang menuntut agar pemuda lusuh itu dihukum mati berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku dan adikku memaafkan pemuda itu”.

“Wahai saudaraku, apa-apain ini?,” kata Amirul Mukminin.

“Aku dan adikku mengkhawatirkan saat ini dan suatu saat nanti orang beranggapan tidak ada yang mau memaafkan sesama muslim. Berilah maaf wahai Amirul Mukminin pemuda itu, aku dan adikku telah memaafkan saudaraku ini”.

Banyak dikalangan kaum muslimn menangis melihat kejadian itu. Dalam keheningan itu Amirul Mukminin berkata, “Wahai Salman ada apa denganmu?, sampai engkau berani menjaminkan dirimu untuk orang yang baru engkau kenal?”.

Salmanpun berkata, “wahai Amirul Mukminin, aku mengkhawatirkan saat ini dan akan datang tidak ada lagi kaum muslimin yang saling percaya sesama muslim, dan hilangnya kepercayaan sesama muslim”.

Dalam waktu tidak terlalu lama pemuda lusuh itu, dibebaskan dari hukum khisas.

Saudaraku orang muslim adalah bersaudara. Siapa yang mempermudah urusan sesama muslim, maka Allah akan memudahkan segala urusannya.

Semoga dengan kisah ini dapat menjadi pelajaran untuk kita semua. Aamiin.

Related Post

Leave a Comment