Inprasa.com, Pekanbaru – Tidak jelas berapa umurku waktu itu, disaat ayah pergi meninggalkan aku dan kakak. Yang jelas kepergian ayah setelah beberapa hari bertengkar dengan mamaku. Ayah menggendongku sambil menangis. Aku tidak tahu apa yang meyebabkan ayah meneteskan air mata dan mengusapnya berkali-kali. Aku Cuma diam, karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Selang beberapa hari ayah tidak pernah pulang ke rumah. Aku pingin bertemu ayah tetapi tidak mengetahui bagaimana caranya. Aku mengetahui dimana ayah berada. Ayah tidur di kantor. Aku tahu ayah di kantor karena ada pegawai ayah yang menelpon mamaku. Pegawai ayah mengabarkan bahwa ayah ada di kantor.

Aku masih terlalu kecil. Umurku belum genap dua tahun. Aku rindu kepada ayah. Jika aku menangis mamaku mengira aku lapar atau pengin mainan. Padahal tidak itu yang aku inginkan. Keinginan untuk bertemu ayah terpendam selama tiga tahun.

Pagi itu aku dipanggil ibu guru untuk dipertemukan dengan ayahku. Aku tidak tahu kalau ayah yang sangat kurindukan menemuiku di sekolah TK tempat aku belajar. Sebelum aku melihat ayah, aku mengira yang mau bertemu aku papa tiriku. Ternyata yang datang ayah kandung yang sangat aku rindukan.

Wajah ayah aku tidak lupa. Apalagi suaranya. Aku masih bisa mengenalnya dengan baik, meskipun tiga tahun tidak bertemu. Ayah mendekatiku. Aku duduk di sampingnya. Ayah menemuiku dan berbisik-bisik kurang jelas. Aku melihat ayah tidak sanggup menahan air mata, sehingga keluar dari kelopak matanya. Akupun demikian, diam dan sesekali mengusap air mataku.

Aku dan ayah sama-sama diam. Aku dan ayahku sama-sama menangis. Ayah mengajakku pulang menaiki mobil bersama. Aku mau sebenarnya tetapi takut nanti dimarahi mama lantaran aku pulang bersama ayah kandungku. Akhirnya aku naik sepeda motor bersama kakakku. Sedang ayah mengikuti dari belakang, sampai di persimpangan dekat rumah. Rumah yang aku tempati dibangun oleh Ayahku.

Ini pertemuan pertama dengan ayah sejak tiga tahun berpisah. Hatiku sangat terharu. Hidupku yang semula kosong meskipun punya papa tiri menjadi semangat lagi. Setiap akan tidur aku berdoa supaya ayah sehat dan bisa menemaniku setiap aku rindu ayah. Tuhan mengabulkan permohonanku. Minimal dua minggu sekali aku minta mainan dan jalan-jalan di mall dikabulkan.

Setiap pertemuan dengan ayah aku selalu ditanya tentang kesehatan mama dan papa tiriku. Ayah kandungku selalu memberikan uang buat jajan selama dua minggu. Ayah tidak lupa berbelanja untuk kebutuhanku, seperti shampoo, minyak rambut, parfum, dan peralatan sekolah lainnya. Ayah juga tidak lupa membelikanku susu dan lauk pauk seperti sosis, abon, dan lain-lain yang menurut keperluan ayah cukup untuk dua minggu.

Karena rutinitas seperti ini, akhirnya mamaku berharap disetiap aku pergi sama ayah harus membawa sesuatu. Lama-lama mamaku mendoktrin aku, pokoknya setiap pergi sama ayah aku harus bawa uang dan bawa makanan. Ayah selalu bertanya kepadaku tentang uang jajan kemaren, ada  sisa atau tidak. Aku selalu bohong kepada ayah, aku berkata bahwa uangnya habis buat beli perangkat sekolah dan sudah tidak tersisa. Ayahpun tidak marah.

Suatu saat ayah datang ke sekolahku. Ayah menitipkan sejumlah uang ke wali kelasku. Aku tidak tahu berapa jumlahnya. Itu aku ketahui saat ayah bercerita kepadaku bahwa jika mau beli apa-apa yang urusan dengan sekolah supaya minta atau pinjam ke wali kelas.

Tujuan ayah supaya uang jajanku tersisa dan bisa menabung. Begitulah bertahun-tahun ayah memperhatikan sekolahku. Meskipun tidak tinggal satu rumah ayah tetap memantau sekolah dan kesehatanku. Beda dengan mama. Mama hanya asik dengan papa tiriku. Papa tiriku rupanya mantan pejabat. Karena korupsi maka papa tiriku dihukum dan dipecat dari dinasnya. Cerita tentang papa tiriku berasal dari ayah. Ayah mengeluarkan Koran harian yang memuat berita perihal papa tiriku. Aku masih kecil, belum bisa mengerti apa sebenarnya yang terjadi tentang papa tiriku.

Ayah berpesan kepadaku agar rajin belajar, makan teratur, mandi dan sikat gigi yang bersih. Jaga diri baik-baik karena ayah tidak bisa mengawasi setiap hari. “Jangan tergantung mama dan papamu di rumah. Berlatihlah mandiri, sebab suatu saat ayah akan hidup satu rumah denganmu tanpa mama dan papa tirimu.” Itu pesan ayah.

Umurku sekarang sudah 12 tahun. Sebentar lagi menginjak usia 13 tahun. Seluruh biaya hidup dan sekolah ditanggung oleh ayah. Apapun permintaanku ayah pasti memberi kecuali permintaan yang kurang bermanfaat untuk seusiaku.

Mamaku mulai sakit-sakitan. Papa tiriku tidak bekerja. Aku merasa kasihan mellihat keduanya. Tiap hari hanya menunggu petang, setelah petang menunggu pagi. Begitulah terus menerus mama dan papaku menjalani hidup. Usiaku masih terlalu muda untuk mengerti urusan orang tua. Dalam hatiku bertanya, “Mengapa keadaan seperti ini terjadi?”

Kehidupan mama dan papa kadang mengandalkan uang jajan dari ayahku. Terpaksa aku harus berbohong ke ayah jika ditanya soal uang jajan yang minggu lalu diberikan. Aku selalu berbohong demi mamaku. Uang sakuku aku berikan ke mama. Sedang untuk jajan aku minta kepada wali kelasku di sekolah.

Ayah sudah tahu kalau aku berbohong. Ayah tidak marah meskipun uang sakuku aku berikan ke mamaku. Ayah bahkan setiap aku belanja buat makan selama dua minggu bertanya kepadaku “mamamu pesan apa tadi?” Akupun tidak menjawab takut jawabanku salah. Akupun hanya mengambil makanan kesukaanku dan makanan yang mama sukai.

Setiap habis belanja aku diantar sampai depan pintu rumah. Ayah membantu menurunkan belanjaan, setelah turun semua aku membawanya masuk rumah, barulah ayah meninggalkanku. Kakak, papa, mama, semuanya diam tidak ada yang membantu membawa belanjaanku, semuanya aku yang menyimpannya.

Setelah tersimpan rapi aku baru mulai tidur. Sebelum aku tidur aku selalu berdoa kepada Tuhan “Yaa Allah berikan kekuatan ayah kandungku, berikan rezeki yang halal, berikan kesehatan dan ampunilah dosanya yaa Allah. Bukakan pintu tobat kepada mama dan papa tiriku yaa Allah. Dan damaikanlah antara ayah dengan mamaku, antara ayah dengan papa tiriku, berikanlah mereka kesehatan agar mereka bisa mengasuhku hingga aku dewasa. Aamiin.” Doa seperti itu selalu aku ucapkan menjelang tidur.

Hari Kamis aku dijemput di sekolah oleh tetanggaku. Aku disuruh pulang sekarang. Aku ikut saja. Sesampai di depan rumah, aku lihat banyak orang. Aku tidak mengerti apa yang terjadi di rumahku. Aku dirangkul mama angkat yang mengasuhku dari kecil. Aku dipeluk, sambil jalan tanganku dipegangnya erat-erat. Perasaanku tidak menentu, ada apa ini? Begitu aku masuk rumah ternyata mamaku terbujur kaku. Mamaku telah meninggal dunia. Aku menangis sejadi-jadinya. Sambil menangis papa tiriku ku pukul-pukul. Aku sangat sedih sekali. Hatiku sedih, diusia 13 tahun aku sudah tidak mempunyai mama lagi.

Pikiranku bingung, aku hanya bisa menangis meratapi nasib. Kasihan melihat mamaku terbungkus kain kafan. Aku tidak membayangkan secepat ini mamaku meninggalkan aku. Perasaanku sangat sedih aku berfikir, kepada siapa aku tinggal nanti. Tidak mungkin aku tinggal di rumah ini. Takut. Apa lagi papaku hanyalah papa tiri.

Tanganku ditarik mama angkatku untuk menjauh, karena jenazah mama mau di pindahkan ke ruang tamu. Akupun tidak berani menatap langsung ke jenazah mama. Aku keluar dari rumah, berusaha menahan tangis. Aku duduk di depan rumah, pikiranku sangat kacau. Dalam situasi sedih aku dipanggil bibi. Bibi mengatakan ada telepon dari ayah. Aku jawab handphone dari ayah, “Hallo ayah.” Ayah menanyakan “Apa sudah pulang sekolah?” Aku berusaha menutup kesedihanku dengan tidak menangis. “sayang kok sudah di rumah, besok ayah jemput yaa! Ayah di Jakarta, besok pagi ayah ke Jogja, habis acara di Jogja ayah jemput, kita jalan-jalan.”

Hatiku sedikit terhibur ayah menelepon, akhirnya aku menjawab telepon ayahku, “Ayah jangan kesini dulu, mama meinggal,” sambil sesegukan aku menahan tangis.

“Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Sayang hari Sabtu ayah jemput, ayah akan ajak jalan-jalan yaa, jangan bersedih, nanti semua kebutuhanmu ayah penuhi, mulai hari ini tidurmu pindah di tempat mama angkatmu, biar perabotan dan kamarnya ayah suruh rapiin, besok kita beli AC, TV biar tidurnya lebih nyaman.” Demikian pesan ayah kepadaku.

Akhirnya aku mendapat kekuatan setelah ayah meneleponku. Aku ternyata masih punya ayah. Ayah hebat, memeberiku motivasi sehingga aku sanggup menerima kenyataan. Namun demikian aku tetap sedih. Belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan hari ini.

Dalam keadaan sedih, pikiranku aku hibur sendiri. Aku maish mempunyai mama angkat, dialah yang mengasuhku dari bayi, dan dialah satu-satunya tempat aku mengadu saat ayahku bertugas di luar kota, apalagi tadi ayahku bilang mulai malam ini aku disuruh tidur di rumah mama angkatku.

Saat aku menghibur diri datang mama angkatku dan berkata “ayahmu tadi menelepon ke aku, kamu nanti malam dan seterusnya tidur di rumahku, sekolahmu diantar dari rumahku, nanti ayahmu yang akan mengatur antar jemput sekolah, biar tidak capek dan takut, sekarang ayo pulang kerumahku dulu.”

Akupun mengikuti ajakan mama angkatku. Dengan hati sedih ku tinggalkan rumahku. Sambil menangis aku berkata dalam hati, “maafkan mama, aku masih kecil, aku tidak bisa mengurusmu, aku bingung, mama izinkan anakmu pindah rumah hari ini, aku takut ditinggal mama, aku takut tidur sendiri, maafkan aku mama.”

Hari pemakaman mamaku telah selesai. Kini aku sudah tidak mempunyai mama lagi. Malam pertama tidur tanpa mama sudah aku lalui. Perasaanku belum bisa lepas dari bayang-bayang wajah mamaku. Malam kedua bayangan mamaku tetap ada dalam pikiranku. Aku masih sering melamun. Mataku berkaca-kaca memandang langit yang sangat jauh.

Hari ketiga ayah datang menjemputku. Ayah mengajakku main ke mall yang banyak anak bermain. Ayah menyuruhku membawa teman untuk menemaniku bermain. Ayah memang sengaja membawaku ke tempat keramaian. Tujuannya biar aku segera melupakan mamaku. Semua permintaanku ayah penuhi. Ayah berusaha mengajakku tersenyum. Dengan segala cara ayah berusaha agar aku bisa tersenyum.

Ayah membiarkanku bermain sepuas-puasnya. Sambil menunggu aku bermain ayah mengajak mama angkatku duduk di sebelah tempat aku dan teman-temanku bermain. Aku tidak tau apa yang dibicarakan. Mungkin soal nasibku. Ayah seorang pengusaha. Waktunya banyak untuk bekerja. Kemungkinan mereka berdua membicarakan kelanjutan siapa yang akan mengasuh aku. Aku lihat ayah serius dalam pertemuan itu.

Malam ketiga aku sudah bisa tidur lebih nyenyak. Ayah telah memberiku semangat baru. Ayah berpesan kepadaku, “ sayang mama sudah di panggil Tuhan, sekarang ayah yang akan mengurus semua kebutuhanmu. Jika ayah bekerja di luar kota, mama angkatmu yang akan mengurus, sekarang semua keperluan sekolah biar ayah titipkan sama mama angkatmu. Berdoalah semoga ayah sehat, murah rezeki dan bisa mengasuhkmu hingga kamu dewasa.”

Aku diam dan ayah bertanya “Besok kalau besar pengen jadi apa? Dokter, guru, atau apa?” Akupun diam tidak menjawab.

Memang ayah selalu menanyaiku tentang cita-citaku. Setahun yang lalu aku pernah mengucapkan di depan ayah kalau cita-citaku pengen jadi guru. Ayah pun tersenyum dan bilang “Bagus jadi guru, untuk bisa jadi guru harus rajin belajar. Guru merupakan pejuang bangsa, tanpa guru maka  bangsa akan bangkrut. Jadi untuk menjadi negara maju gurulah yang berperan utama.”

Malam keempat ayah telah melengkapi kamarku dengan meja belajar, mainan dan perlengkapan sekolah yang sangat aku inginkan. Pikiranku tentang mamaku sudah mulai sedikit demi sedikit dapat aku lupakan. Hari-hari dalam minggu pertama ayah yang antar jemput sekolah. Karena ayah akan keluar kota. Maka aku diserahkan ke mama angkat untuk antar jemput ke sekolah.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, pikiranku yang semula teringat mamaku yang sudah tiada berganti rindu kepada ayah. Jika ayah tidak menelepon dua hari saja, aku harus menelepon ayah. Apa lagi kalau seminggu tidak menjemputku sekolah. Aku minta ayahku pulang dan mengantarkanku ke sekolah.

Aku mulai menyadari bahwa aku masih beruntung, karena mempunyai ayah yang baik, mempunyai mama angkat yang sayang ke aku. Keinginanku hampir semuanya dipenuhi ayah. Hari-hari terus berganti.

Setiap menjelang tidur aku membayangkan, “bagaimana seandainya Tuhan memanggil ayahku? Bagaimana nasibku.” Akupun berdoa, “ya Allah berikan kesempatan ayahku membesarkan aku. Berikanlah panjang umur dan murah rezeki kepada ayahku, berilah aku kesempatan untuk merawat ayahku jika ia tua nanti, hanya kepadamu ya Allah nasibku kusandarkan.” Begitulah hari-hari aku berdoa buat ayahku.

Leave a Comment